Amerika memang bermain di mana- mana. Kali ini permainannya di Mesir  makin terkuak. Ketika Ben Ali jatuh di Tunisia dan disusul dengan  pergolakan pemuda di Mesir, Amerika mulai khawatir.
Berbeda  dengan ketika ada demo besar di Iran yang menentang Ahmadinejad, di mana  pemerintah Obama dengan segera dan serta-merta mendukung pendemo, kali  ini Amerika sangat lamban dan terkesan menunggu perkembangan situasi.
Setelah polisi dan aparat keamanan Mesir gagal menghambat pemrotes  dengan kekerasan dan kemudian militer mengambil alih dengan lebih bijak,  Amerika baru mengeluarkan pernyataan meminta Mubarak tidak menggunakan  kekerasan dalam menghadapi gerakan massa disana. Pernyataan ini disusul  dengan permintaan agar Pemerintah Mesir melakukan reformasi dan  mengadakan dialog dengan rakyatnya.
Sebagaimana biasa, sekutu  Amerika di Eropa, terutama Inggris, kemudian membeo dan meminta Mubarak  agar mereformasi sistem pemerintahannya, bukan pemerintahnya.  Belakangan, Departemen Luar Negeri Amerika membuat pernyataan yang lebih  ”maju” lagi ketika Hillary Clinton meminta Mesir untuk melaksanakan  proses transisi dengan tertib (orderly transition). Tidak  dijelaskan apa yang dimaksud dengan transisi.
”Desakan” Amerika  ini segera diikuti dengan setia oleh Mubarak dengan, pertama, mengangkat  orang dekatnya sebagai wakil presiden setelah 30 tahun negeri itu tidak  punya wakil presiden. Kemudian, mengganti perdana menteri dan beberapa  menteri lain, termasuk menteri dalam negeri yang membawahi aparat  keamanan Mesir yang dikenal bengis.
Terakhir, setelah menyaksikan  ketahanan dan semangat gerakan massa yang semakin meningkat dengan  turunnya lebih dari sejuta pendemo pada hari Selasa, 1 Februari, Obama  mengirim utusan khusus ke Mesir dan meminta Mubarak membuat pernyataan  tidak akan maju lagi dalam pemilihan presiden di Mesir pada bulan  September mendatang.
Permintaan Gedung Putih ini menyusul  pernyataan Senator John Kerry yang meminta Mubarak bekerja sama dengan  militer dan masyarakat madani untuk membentuk pemerintahan transisi. Hal  ini mengingatkan kita pada upaya akhir Soeharto membentuk kabinet  reformasi yang ditolak massa. Dengan serta-merta Mubarak menurut dan  mengumumkan melalui televisi bahwa dia tidak akan maju lagi, tetapi  berjanji akan menjaga keamanan dan penggantian pemerintahan sampai  pemilu September nanti.
Taktik menunda
Sejak awal siapa pun dengan mudah dapat membaca sikap dan posisi  Amerika. Ada kesan kuat bahwa satu per satu langkah Mubarak secara  berurutan menunggu arahan dari Washington. Pemerintah Amerika yang  dikejutkan dengan perkembangan cepat di Timur Tengah merasa kecolongan  dan panik.
Obama dalam waktu seminggu terakhir berkali-kali  mengadakan rapat-rapat darurat dengan berbagai pembantu utamanya untuk  membahas situasi mutakhir di Mesir, seakan-akan seperti sedang membahas  pemberontakan di Texas atau California.
Mubarak adalah sekutu  setia Amerika dan Israel di Timteng yang telah berperan menciptakan  ”kestabilan” dan memelihara perdamaian dengan Israel selama 30 tahun  terakhir. Mubarak bahkan membantu Israel dalam upaya melemahkan Hamas,  musuh utama Israel di Gaza.
Jatuhnya Mubarak akan menciptakan  ketidakpastian bagi kepentingan Barat dan Israel. Belum lagi  dibayang-bayangi dengan kekhawatiran kemungkinan munculnya Ikhwanul  Muslimin pasca-Mubarak. Segala jalan harus ditempuh Amerika dan  kawan-kawan untuk sebisa mungkin mempertahankan Mubarak. Bila ini tak  mungkin, setidaknya Amerika perlu waktu untuk memengaruhi proses  pergantian penguasa di Mesir. Satu-satunya jalan, ketika Mubarak sudah  dalam posisi terpepet, adalah dengan melakukan taktik menunda.
Dengan demikian, Amerika berharap akan tampak berpihak kepada rakyat  Mesir dengan meminta Mubarak tidak maju lagi dalam pemilu presiden  mendatang. Yang sebenarnya bahwa Amerika dan sisa-sisa pendukung Mubarak  di Mesir hanya sekadar membeli waktu untuk mengatur strategi  berikutnya.
Langkah ini, menurut saya, sudah sangat terlambat.  Rakyat Mesir tidak akan membeli tawaran terbaru Amerika. Mereka tidak  terlalu bodoh untuk bisa membacanya. Jika Amerika memang tulus  menghendaki kedaulatan rakyat di Mesir, mengapa baru sekarang mereka  bertindak setelah terjadi pergolakan besar dan jatuh ratusan korban  tewas serta ribuan cedera di kalangan rakyat?
Rakyat Mesir  sekarang hanya mengenal satu kata ”irhal” (pergilah) bagi Mubarak yang  berulang-ulang diteriakkan saat demonstrasi. ElBaradei, tokoh moderat  Mesir dan mantan Ketua IAEA yang belakangan beroposisi terhadap Mubarak,  menyatakan kecewa atas sikap Amerika yang plinplan. Wajah Amerika di  Mesir sudah telanjur tercoreng. Tuntutan rakyat Mesir tidak kurang dan  tidak lebih dari hengkangnya Mubarak dari tampuk kekuasaan Mesir.
Sikap Amerika yang bermuka dua ini bukanlah hal baru. Meneriakkan  demokrasi sambil memelihara penguasa-penguasa otoriter di berbagai  negara. Menganjurkan perdamaian sembari mengirim tentara untuk berperang  di mana-mana dan menjual senjata ke mana-mana. Melarang Iran memiliki  kekuatan nuklir, tetapi membiarkan Israel sebagai satu-satunya kekuatan  nuklir di Timur Tengah. Mempromosikan kebebasan pers, tetapi mengebom  kantor berita Al Jazeera di Baghdad dan melarang TV Al-Manar menjangkau  Amerika. Memberikan sanksi terhadap negara-negara yang melanggar HAM,  tetapi melanggar HAM berat sendiri baik di dalam maupun di luar negeri.
Bila dari kasus pergolakan di Timur Tengah yang tampaknya tidak ada  titik baliknya ini Pemerintah Amerika masih tetap tidak mampu mengambil  pelajaran berharga darinya dengan meninjau kembali politik luar  negerinya untuk kepentingan nasional Amerika jangka panjang, maka  merugilah rakyat Amerika yang berkali-kali memilih presiden dan wakil  rakyatnya yang salah visi dan sekadar berorientasi politik jangka  pendek.
Abdillah Toha Mantan Ketua Badan Kerja Sama Antar  Parlemen (BKSAP) DPR
             kompas.com
Jumat, 04 Februari 2011
angel and demons
Diposting oleh
shafiratunnisa338
di
21.32
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook














0 komentar:
Posting Komentar